Oleh: Sholihin MS

Alvin Lim dijemput paksa oleh Jaksa dari Kejari Jaksel karena telah dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim PN Jaksel melakukan tindak pidana pemalsuan surat secara berlanjut. Alvin Lim dinyatakan melanggar Pasal 263 ayat 2 juncto Pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Atas putusan 4,5 tahun tersebut, pengacara Alvin Lim menyatakan banding.

Sebelum penulis mengomentari lebih lanjut, tuduhan pemalsuan seperti apakah seorang Alvin Lim “penyuara kebenaran” sampai terus dibidik oleh banyak pelapor sampai harus dihukum 4 1/2 tahun ? Kita ikuti penuturan Alvin Lim : “Sudah saya katakan dari awal ini kriminalisasi terhadap advokat.

Dari pelaksanaannya saja perkara yang sama, sudah pernah disidangkan sebelumnya sampai putusan MA inkrah. Ini dua kali sidang perkara sama seharusnya nebis in idem, tapi dipaksakan oleh oknum. Saya dituduhkan memberikan alamat rumah/kantor saya untuk membuat KTP palsu ke klien perceraian saya.

Namanya klien ketika tandatangan di surat kuasa dan kartu nama sudah ada alamat saya. Lalu jika disalahgunakan orang, harus saya tanggung jawab?” kata Alvin dalam hak jawab yang diterima JawaPos.com, Kamis (1/9). “Dalam dakwaan sudah jelas tertulis, boleh pakai alamat, tapi jangan untuk yang aneh-aneh. Ucapan, jangan pakai untuk yang aneh-aneh kan jelas, apalagi digunakan melawan hukum. Tapi itu lah ini sudah settingan, percuma melawan kesewenangan oknum aparat,” sambungnya.

Alvin menjelaskan, “perkara yang sama, sudah pernah diputus pada 2020 oleh MA. Bahkan dia mengaku sudah diperingatkan oknum untuk tidak mengurus kasus investasi bodong melawan oknum-oknum raksasa”.

“Jika saya cari aman, dan tidak usik perkara investasi bodong maka saya aman. Tapi saya kasihan melihat masyarakat Indonesia yang meminta bantuan saya. Inilah bukti bobroknya sistem hukum di Indonesia. Hari ini, saya menjadi korban kriminalisasi oknum Jaksa dan Hakim,” Terus terang saya baru kenal Alvin Lim dari media. Iya, dia luar biasa. Seorang Tionghoa tapi sangat nasionalis. Sementara banyak orang Indonesia yang jadi pengkhianat bangsa demi segepok uang.

Kekaguman saya belum berakhir sampai di situ. Dia seorang advokat Tionghoa, namanya juga masih Alvin Lim Tapi orangnya sangat cerdas, alur berfikirnya teratur, naluri investigasinys sangat kuat, informannya sangat handal, data yang dimilikinya sangat lengkap sehingga berani menantang adu data. Hebatnya, dia selalu membela yang lemah tanpa pamrih, dan yang mencengangkan sangat lantang menyuarakan kebenaran kepada aparat penegak hukum.

Ini yang membuat para koruptor dan penegak hukum nakal sangat risih dengan manuver Alvin Lim. Saya duga pihak kepolisian sudah dari awal akan menciduknya. Tapi ternyata, kepolisian di bawah Kapolri Jend. Listio Sigit malah justru mengapresiasi atas kekritisannya. Justru malah pihak Kejaksaan kebakaran jenggot. Kejaksaan begitu bersemangat membidik Alvin Lim karena dinilai telah mencemarksn dan membuat beeita bohong dengan ucapan Alvin Lim kalau Kejaksaan (Agung) itu sarang mafia.

Padahal, kata Alvin Lim, dia siap dipanggil untuk adu argumentasi dan menunjukkan bukti-bukti dan saksi. Jika institusi Kejaksaan benar-benar ingin menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan, seharusnya pihak Kejaksaan berterima kasih kepada Alvin Lim karena masih ada orang bersih yang mau menyelamatkan Lembaga Kejaksaan.

Tapi ini malah diringkus dengan tuduhan “hanya” sebuah pemalsuan dokumen yang masih bersifat subyektif dan debatable. Bukankah akan lebih penting lembaga Kejaksaan menjadi lembaga yang benar-benar bersih, bukan seperti air kotor yang tidak bisa untuk mencuci baju, atau ibarat sapu kotor yang tidak bisa untuk membersihkan lantai. Bukankah tujuan penegakkan hukum adalah kebenaran, keadilan dan kemanusiaan?.

Sepertinya saat ini Kejaksaan belum layak bicara soal keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Keadilan sumbernya dari keadilan Tuhan. Keadilan itu wujud dari hati yang bersih. Keadilan itu menuntut kesetaraan. Keadilan itu memperjuangkan kaum lemah. Keadilan itu tanpa ada tekanan pihak luar. Keadilan itu bersih dari permainan uang. Keadilan itu buta (justice is blind) dalam menghukum (tidak tebang pilih), yang jadi ukuran adalah putusan hati nurani.

Keadilan itu bebas dari kepentingan politik. Keadilan itu ada rasa perikemanusiaan. Akhirnya, Kejaksaan menambah buram penegakkan hukum di Indonesia. Sepertinya di rezim Jokowi ini keadilan memang sudah benar mati. Anak Alvin Lim sampai berang terhadap penangkapan ayahnya, karena yang selama ini dilakukan hanyalah menolong dan membela kaum lemah tidak berdaya, tanpa meminta imbalan. Tapi hasilnya harus dibuih di balik jeruji. Inilah resiko penyuara kebenaran di rezim Jokowi yang penuh kezhaliman. (SN)

Solusinya hanya satu: SEGERA LENGSERKAN JOKOWI!