SUATU pagi kemarin, istri saya yang apolitik hanya ibu rumah tangga tanya,  “Pap, Presiden Jokowi apa ikut pemilu, sudah boleh berkampanye?” Rupanya dia nonton di medsos. Karena setahu saya dia jarang nonton tivi. “Ada acara Jokowi dengan relawan di GBK layaknya kampanye,” lanjut ibu dari anak saya.

Pertanyaan awam saya akhirnya tergelitik. Presiden Jokowi memang senang mengumpulkan relawannya. Kadang mereka dikumpulkan di Istana, walau bukan urusan Negara. “Banyak relawannya yang diberi hadiah, di antaranya jabatan Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN, bukan milik Presiden) walau hanya punya pengalaman bermain band,” timpal saya sembari ngunyah kripik jengkol.

Istri saya tertawa renyah. Komen singkatnya ”Pak Jokowi Presiden relawan, dong”.

Dari percakapan pagi tersebut lahir analisis ini. Jokowi lengkapnya bernama Joko Widodo, sebelum menjadi Presiden seperti sekarang, sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat. Karena Jokowi ketika itu bukan siapa-siapa. Juga, bukan tokoh masyarakat, bukan aktivis, bukan pula pemimpin ormas pemuda maupun agama. Menjadi Walikota Solo melalui dukungan PDIP.

Nama Jokowi mulai melesat dikenal masyarakat, setelah promo mobil Esemka yang pesan 6.000 unit mobil, katanya ketika itu (sampai sekarang tak pernah ada). Kemudian PDIP memunculkan menjadi Gubernur DKI dan menang.

Tidak sampai selesai masa jabatannya, kembali PDIP mencalonkan Jokowi menjadi Presiden pada 2014. Menang. Artinya jika tidak “dimunculkan dan didukung” PDIP meniti jabatan tersebut, Jokowi bukan siapa-siapa. Tentu termasuk anak dan menantunya.

Tidak salah Megawati menyatakan dan mengingatkan jika Jokowi petugas partai (PDIP). Begitu besar jasa PDIP terhadap perjalanan hidup Jokowi dengan anak dan mantunya, hingga menjadi orang.

Perlu juga dianalisis secara singkat tentang PDIP. Partai tertua setelah Golkar, cikal bakalnya malah lebih tua. Pemilu 2019 sebagai pemenang Pemilu. Jika diamati dari empat kali Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, perolehan suara hasil pemilunya kisaran 18 – 20 %. Artinya partai ini sudah punya “Captive Market” pendukung tetap.

Apapun gonjang-ganjing yang terjadi baik di tubuh partai atau eksternal (kasus korupsi dsbnya) tidak akan membawa pengaruh. Hasil survei banyak lembaga juga tidak jauh beda dari kisaran 20 %. Berbeda dengan partai lain hasil pemilu dalam grafik naik-turun curam. 

Saat Pilpres 2019 Jokowi - Ma’ruf Amin didukung oleh 5 partai dengan perolehan suara pada Pileg 2019, PDIP (19,33%), Golkar (12,31%), PKB (9,69%), Nasdem (9,05%), PPP (4,52%). 

Total gabungan perolehan suara 54,9 % tidak berbeda jauh dengan angka perolehan kemenangan Pilpres Jokowi. Karena kerja keras 5 partai melalui infrastruktur partai yang berada sampai kecamatan. 

Artinya, tidaklah signifikan hasil dukungan relawannya terhadap kemenangan Jokowi. Karena infrastruktur relawan Jokowi terbatas, lebih terpusat di ibukota Jakarta atau beberapa di ibu kota provinsi. 

Begitu juga “efek Jokowi” juga tidak signifikan untuk menaikkan pemilih buat partainya PDIP. Terbukti perolehan suara PDIP 2019 tidak berbeda jauh dengan 4 Pemilu sebelumnya. Hanya berkisar 18 – 20%.

Akhir pekan kemarin Jokowi cawe-cawe seakan calon presiden mengumpulkan relawan di GBK. Pengumpulan massa hingga ratusan ribu orang itu tentunya dengan sokongan dana yang besar. 

Pesta musik serta sebagian peserta itu di iming-iming dengan tablig akbar atau sholawat yang ternyata prank seperti diinvestigasi oleh media mainstream seperti Tempo dan Kompas.

Jokowi sebagai petugas partai PDIP seakan menjadi petinggi partai yang bisa menentukan kriteria calon Presiden, yang melabrak fatsun partainya sendiri. 

Menisbikan hasil kongres dan kewibawaan serta marwah Ketum partainya PDIP. Yang telah menjadikan dirinya dari tidak siapa-siapa menjadi Presiden. Lebih tepatnya tidak tahu diri. Lupa kacang dengan kulitnya.

Bagi PDIP dengan jumlah kursi yang telah melebih 20% satu-satunya partai yang tak perlu koalisi untuk memajukan pasangan capres. Sudah mempunyai “captive market” pemilih tetap 20%. Angka tersebut menjadi “modal sosial” tetap.

Puan Maharani dengan modal sosial tersebut sudah siap berlaga, tinggal menentukan cawapres yang punya keahlian mengatasi ekonomi yang suram. Tidak perlu terpengaruh dengan survei dan manuver orang yang “tidak tahu diri”.
 
 Oleh: Syafril Sjofyan
Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78