Salah-satu buah reformasi adalah perubahan mendasar dalam mekanisme
pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung. Perubahan ini
bukan-lah sesuatu yang ujuk-ujuk terjadi, pengalaman pahit berada di
bawah rezim otoriter dengan legitimasi absolut MPR sebagai lembaga
tertinggi negara adalah pokok perkaranya.
MPR berubah wujud menjadi "stempel" kekuasaan dan di sisi lain presiden
menjelma bagai dewa yang anti kritik, menjadi feodal seutuhnya,
masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.
Perjuangan panjang kaum intelektual dan dukungan dari masyarakat luas
dan berbagai kelompok kepentingan akhirnya menumbangkan rezim otoriter
beserta perangkat pendukungnya.
Transisi dari rezim otoriter ke era domokratis memang tidak selalu
berjalan mulus, namun itu tidak serta-merta menjadi alasan untuk kembali
ke fase kelam di bawah sistem yang dulu telah melahirkan
otoritarianisme.
Komplikasi persoalan pemilu langsung harus diselesaikan dengan pikiran
jernih bukan reaksioner sehingga melahirkan solusi jitu bukan dengan
mengambil jalan pikiran pintas karena malas bersitegang dengan pikiran
dan gagal dalam membangun dealetika berfikir.
Indikasi malas berfikir dan gagal dalam berlogika itu tergambar dengan
sangat jelas, ketika problematika dan solusi yang ditawarkan tidak
nyambung sama-sekali. Jika persoalan politik berbiaya tinggi, politik
uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik menjadi argumen
utama untuk menghapus pemilu langsung maka solusinya bukan serta-merta
mengganti sistem.
Lalu apakah dipikirkan soal konsekuensi/mudarat dipilih MPR, menggapa
kita mudah lupa sejarah bagaimana instabilitas pemerintahan, di tengah
jalan presiden sangat mudah di impeachmen/dijatuhkan, jelas tidak sekuat
legitimasi presiden dipilih langsung, tidak mudah menjatuhkan presiden
di tengah jalan hanya karena soal like or dislike. Dijatuhkan Gusdur di
tengah jalan oleh MPR mestinya cukup menjadi pembelajaran penting bagi
kita betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR.
Masih sangat terbuka solusi dan alternatif lain untuk menekan dan
meminimalisir hal tersebut melalui paket sekelas undang-undang pemilu,
bukan ujuk-ujuk amandemen konstitusi.
Paket undang-undang pemilu tersebut sudah lama menjadi wacana terkait
pembiayaan politik, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, mahar
politik dan penegakan hukum terkait pelanggaran pemilu.
Selama upaya perbaikan sistem pemilu belum dilakukan secara optimal,
maka sangat naif sekali rasanya menyalahkan pilihan sistem ini dan
kemudian menggantinya dengan pilihan sistem lain yang telah terbukti
membawa bangsa ini ke dalam sejarah kelam. Atau jangan-jangan mereka
yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter itu sedang
menyusun kekuatan, mereka sudah tidak sabar untuk kembali berkuasa.
Penulis: Pangi Syarwi Chaniago
0 Komentar