Ribuan massa kembali turun ke jalanan di wilayah Kolkata, India akhir
pekan ini (Sabtu, 14/12) untuk memprotes undang-undang kewarganegaraan
baru India yang kontroversial.
Undang-undang baru tersebut memberikan hak kepada migran non-Muslim dari
tiga negara mayoritas Muslim untuk mendapatkan kewarganegaraan jika
mereka menghadapi presekusi atau penganiayaan agama.
Warga yang geram atas UU tersebut turun ke jalan untuk hari kedua akhir
pekan ini. Mereka memblokir jalan raya serta menggangu perjalanan kereta
api serta stasiun di ibukota Benggala Barat tersebut.
Aksi protes itu sendiri digelar untuk pertama kalinya pada Jumat
(13/12). Ratusan orang yang sebagian besar merupakan mahasiswa turun ke
jalan untuk menyuarakan penentangan mereka akan UU baru tersebut. Namun
aksi berujung ricuh karena pengunjuk rasa bentrok dengan polisi anti
huru hara.
Petugas menggunakan gas air mata pada para pengunjuk rasa dan menahan lebih dari 40 mahasiswa.
Bukan hanya di Kolkata, aksi serupa dalam skala yang lebih kecil juga terjadi di negara bagian selatan Kerala dan Karnataka.
Akibat aksi protes dan bentrok yang terjadi, Inggris, Amerika Serikat
dan Kanada bahkan mengeluarkan peringatan perjalanan untuk orang-orang
yang mengunjungi timur laut India. Ketiga negara itu memberi tahu
warganya untuk berhati-hati jika bepergian ke wilayah tersebut.
Namun apa sebenarnya isi UU Kewarganegaraan India yang baru tersebut yang memicu kontroversi?
Mengutip BBC, UU tersebut sebelumnya merupakan RUU Amendemen
Kewarganegaraan atau CAB yang kemudian disetujui pekan kemarin di India.
UU itu akan diberlakukan bagi warga non-muslim dari Pakistan,
Afghanistan dan Bangladesh. UU itu mengatur bahwa warga non-muslim dari
tiga negara mayoritas muslim tersebut akan diberikan kewarganegaraan
India bila mereka mengalami presekusi atau penganiayaan atas keyakinan
yang mereka anut di negara mereka.
Karena berlaku bagi warga non-muslim, maka aturan itu akan merangkul
warga yang beragama selain Islam, yakni Hindu, Kristen, Budha, Sikh,
Jain dan Parsis.
UU itu mengatur, jika orang-orang dari kelompok agama tersebut memasuki
India secara ilegal dan dapat membuktikan bahwa mereka berasal dari
salah satu dari tiga negara itu dan mampu membuktikan bahwa mereka telah
mengalami penganiayaan atas keyakinannya di negara mereka, maka mereka
dapat mengantongi kewarganegaraan India.
UU itu menuai kecaman, terutama dari kelompok-kelompok hak asasi Muslim
di India serta partai politik oposisi di negara tersebut. Mereka yang
menentang menilai, RUU itu adalah bagian dari "Hindutva" atau nasionalis
Hindu yang didorong oleh Perdana Menteri Narendra Modi. Mereka menuding
bahwa langkah itu juga merupakan bagian dari agenda untuk meminggirkan
Muslim.
Bahkan para kritikus dan mereka yang menolak UU itu menyebut UU itu dengan istilah "UU Anti-Muslim".
Namun Modi menyangkal tudingan tersebut. Dia membenarkan bahwa umat
Islam tidak dilindungi oleh undang-undang baru. Hal itu dikarenakan umat
Islam bukanlah minoritas agama di Pakistan, Afghanistan dan Bangladesh.
Karena itulah Modi menilai bahwa mereka tidak memerlukan perlindungan
di India.
Padahal, para kritikus menilai bahwa jika UU itu ditujukkan untuk
melindungi minoritas, seharusnya bisa mencakup minoritas kelompok agama
Muslim yang menghadapi penganiayaan di negara mereka sendiri, misalnya
Ahmadi di Pakistan.
Mereka juga menilai bahwa UU itu melanggar prinsip-prinsip sekuler yang
diabadikan dalam konstitusi, yang melarang diskriminasi agama terhadap
semua warga negara. [
rmol]
0 Komentar