Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI
KEBOBROKAN
di negara ini sudah menjadi rahasia umum. Dilakukan dengan cara yang
tersembunyi, namun juga tak ragu dipertontonkan di hadapan publik. Mulai
dari pelayanan masyarakat pada level terendah, hingga terstruktur
sampai ke jajaran elit pengambil kebijakan strategis. Hampir merata pada
semua institusi negara, namun yang paling menonjol adalah pada lembaga
Kepresidenan dan Polri.
Kejahatan pada umumnya
sering terlihat dalam bentuk penipuan, pemerasan, pencurian dan
perampokan. Tak berhenti sampai di situ, marak juga penculikan,
perdagangan seks, perjudian, narkoba, miras, pemerkosaan, penganiayaan
dan pembunuhan. Keseharian banyak dilakukan orang-orang biasa, rakyat
yang tergolong jelata pada umumnya. Sebagian besar karena faktor ekonomi
yang membuat hidup dalam tekanan. Selebihnya karena faktor ingin
mendapat kesenangan dan karena sering dilakukan pada akhirnya telah
menjadi kebiasaan.
Selain semua itu, ada
korupsi, suap ijin ilegal, perusakan alam, pembunuhan massal dan
genosida yang tergolong kejahatan luar biasa. Kalau kejahatan tingkat
dewa ini, biasanya menjadi ranah para pejabat negara, pengusaha kelas
kakap dan yang paling mumpuni pemimpin tertinggi dalam suatu
pemerintahan. Mereka menjadi sedikit orang yang mengatur dan menguasai
kepentingan banyak orang. Mereka hanya sedikit tapi menentukan nasib
khalayak. Mereka itulah minoritas yang superior terhadap mayoritas.
Mirisnya,
bukan hanya dilakukan dengan cara sindikasi layaknya kejahatan
terorganisir hingga disebut mafia. Untuk memuluskan begitu masif dan
sistematiknya pelbagai penyakit peradaban manusia itu. Pelaku yang
berjubah kekuasaan, sangat ahli dengan rekayasa yang penuh manipulasi
dan konspirasi. Modusnya sering berupa distorsi kebijakan yang berujung
tindakan represi, dibumbui isu, intrik dan fitnah. Kejahatan
istitusional yang merupakan sinergi dan elaborasi antara birokrasi dan
korporasi, menghasilkan daya rusak dan tingkat kehancuran yang tinggi.
Menyebabkan penderitaan rakyat di sana-sini secara massal, bagai rasa
sakit menahun dan sulit disembuhkan.
Di tengah
keterpurukan bangsa akibat ketidakmampuan rezim dalam mengelola negara,
kehidupan ipolesosbudhankam menjadi begitu memprihatinkan. Salah urus
dan buruknya tata kelola pemerintahan, menjadi faktor utama Indonesia
kian deras menuju negara gagal. Utang dan defisit keuangan negara yang
tinggi, lebih dipicu oleh perilaku dan mental korup. Uang rakyat lebih
banyak digunakan untuk membiayai dan mempertahankan kekuasaan, ketimbang
untuk pembangunan yang membuat rakyat sejahtera. Keadilan dan
kemakmuran hanya untuk pemilik modal dan penguasa. Hukum menjadi alat
penindasan bagi rakyat kecil yang lemah. Negara benar-benar dalam
belenggu penjahat berwajah pejabat dan pemimpin formal, yang dilindungi
kekuasaan atas nama demokrasi dan konstitusi.
Dua
periode jabatan presiden yang digenggam Jokowi, tak pernah sepi dari
gugatan dan pembangkangan rakyat. Menjadikan Polri sebagai perpanjangan
tangan sekaligus tameng dalam menjalankan pemerintahannya. Tak sekadar
otoriter dan diktator tersembunyi, Jokowi terlanjur dicap publik sebagai
pembohong nomor wahid. Sementara Polri dianggap bobrok,
serusak-rusaknya aparat keamanan. Keharmonisan dan keselarasan antara
Jokowi dan Polri, laksana pengantin yang sedang berbulan madu dan sulit
dipisahkan.
Antara Presiden dan Polri seperti
senyawa yang kuat, sejoli yang memiliki chemistry saling silih mewangi.
Baik kedua institusi kenegaraan itu, baik pula rakyat, negara dan bangsa
Indonesia. Begitupun sebaliknya, buruk presiden dan polri buruk pula
negeri ini secara keseluruhan.
Kini, di tengah
sikap skeptis dan apriori rakyat terhadap presiden, pada kinerja yang
jauh dari standar, pada mentalitas kepemimpinan yang tak layak dicontoh
dan diteladani, Jokowi pada kenyataannya, terus dibayangi mosi tidak
percaya dan tuntutan mundur dari jabatannya oleh rakyat.
Demikian
hal yang sama dengan Polri, bukan hanya pada pucuk dan jajaran
pemimpinnya. Lembaga keamanan negara yang seharusnya melindungi,
mengayomi dan melayani masyarakat itu, harus berhadapan dengan arus
gelombang desakan reformasi di tubuhnya. Presiden dan Polri saling
merepresentasi dan saling mewakili, meskipun tak terhindarkan dan tak
terbantahkan pada keadaan yang begitu memilukan.
Susah senang bersama, kuat dan lemah saling menjaga menutupi.
Begitulah
presiden dan Polri, ibarat hubungan terlarang saling menyandera dan
saling mengikat serta sulit bercerai. Meminjam istilah Kapolri Listyo
Sigit Prabowo, tentang ikan busuk dari kepala. Tak cukup tendensius di
kalangan internal Polri. Narasi itu bagai menohok Jokowi sang presiden
yang menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Seperti memberi isyarat kepada rakyat Indonesia, mau tahu tabiat asli Jokowi?, cukup lihat dan kenali polisi. (fnn)
0 Komentar