Soekarnoisme atau Marhaenisme hanya Dipakai sebagai alat perdagangan dan transaksi kekuasaan oleh PDIP ataupun petualang politik pragmatis yang menggelutinya.

Demikian dikatakan Kader Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS), Yusuf Blegur kepada redaksi SuaraNasional, Sabtu (22/10/2022). 

“Spiritnya hanya sebatas simbol dan sekedar jargon semata. Para Soekarnois itu, justru lebih suka membunuh Soekarno berkali-kali bahkan setelah kematiannya,” jelasnya. 

Kalangan nasionalis kini sedang digugat. Pada sejarah masa lalunya, maupun tindak-tanduknya di masa kini. 

Sempat menjadi sumber energi dan bagai api yang menyala-nyala tak pernah padam. 

Kata Yusuf, ideologi nasionalis sempat mencapai puncak kejayaannya, tatkala bangsa ini dalam semangat pergerakan kemerdekaan Indonesia. 

Menghidupkan revolusi Indonesia melawan penindasan dari kolonialisme dan imperialisme. 

Membebaskan rakyatnya dari belenggu penjajahan, tak peduli berapapun harganya tak peduli darah dan nyawa dikorbankan. 

“Namun tak lama usai kemerdekaan dikumandangkan, nasionalisme di tangan pemimpin-pemimpin yang ego, ambisius dan cinta dunia. Telah mewujud menjadi nasionalisme yang “chauvanistic” dan cenderung “facism”. Nasionalisme yang menggantikan kolonialisme dan imperialisme itu sendiri, melahirkan diktatorian dan otoriterian bagi rakyatnya sendiri,” jelasnya.

Menurut Yusuf, nasionalisme nyaris tak mampu hadir atau menunjukkan keberadaanya saat negara dalam cengkeraman kekuasaan bangsa asing dan bangsa aseng. 

Pancasila, UUD 1945 dan NKRI terus diperkosa dan teraniaya oleh ideologi yang tak pernah terpikul dan dipikur oleh naturnya Indonesia. 

Ekonomi, politik dan hukum begitu tak berwibawa, bahkan kehilangan harga diri dan martabatnya, rakyat hanya menjadi bangsa kuli di atas kuli. 

Simbol sekaligus jargon nasionalis yang dulu kuat melekat pada pemimpin dan tokoh-tokoh kebangsaan terutama pada figur Soekarno. 

Menjadikan figur Soekarno seperti magnit yang menyatukan kekuatan revolusioner pada masanya. Kiri, kanan dan tengah sebagai istilah instrumen perlawanan mengusir penjajahan. 

“Martchs Vorming Soekarno menyebutnya, meskipun pada akhirnya semua kekuatan yang menentang imperialisme dan kolonialisme disebutnya sebagai kelompok kiri. Dari situ domain dan irisan Soekarno tidak pernah lepas dari keyakinan dan pengaruh kekuatan kiri, yang dianggap berbasis pemikiran Karl Marx yang kemudian ditafsirkan sebagai ideologi komunis. Setelah orde lama, orde baru dan 24 tahun perjalanan reformasi. Konstelasi dan konfigurasi politik aliran dan ideologi itu, tak pernah surut mengiringi episode panjang drama dan konflik Indonesia sejauh ini,” paparnya.

Yusuf mengatakan, PDIP tidak boleh mengklaim sebagai pewaris dan yang paling Soekarnois. Termasuk tidak sempit dan picik mengaggap orang-orang Soekarnois itu mutlak paling nasionalis, atau sebaliknya yang nasionalis itu selalu harus Soekarnois. 

“Terlebih ketika euforia Soekarnoisme melalui geliat PDIP justru pada prakteknya menimbulkan keterpurukan bangsa. Ya, dengan situasi dan kondisi rakyat, negara dan bangsa Indonesia sekarang ini. Bisa dibilang determinasi ideologi Soekarnoisme justru berujung anti klimaks,” pungkasnya. [SuaraNasional]