Walaupun selalu ditutup-tutupi oleh sebagian besar
media-media nasional, Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) dalam membantu
korban bencana alam di Indonesia akhirnya diketahui oleh warga Amerika
Serikat.
Media dan warga Amerika akhirnya mengetahui dan mengakui organisasi
bentukan Habib Rizieq Shihab itu selalu terdepan dalam setiap penanganan
bencana.
Bahkan wartawan Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam
artikel berjudul “When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to
Help” yang diunggah di The Washington Post yang diunggah pada 11 Juni
lalu.
Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang
dirumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu lalu. Laki berusia 50 tahun
itu menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera tersebut.
Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda
ibukota Sulawesi Tengah 28 September lalu. Anwar mengenang bahwa saat
itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya.
Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI.
Bahkan FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut.
Wright menguraikan sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten
mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim
Indonesia. FPI memandang ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang
mengubah negara menjadi lebih sekuler.
FPI didirikan oleh Habib Rizieq Shihab di Indonesia
setelah jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998 sebagai alat untuk
membela Islam, bangsa dan negara dalam menghadapi aktivis Komunisme,
liberalisme dan paham jahat lainnya.
Berdasarkan pernyataan Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) sayap juang
FPI Ustadz Maman Suryadi Abdurrahman, jumlah anggota FPI saat ini
mencapai lebih dari satu juta orang. Ustadz Maman juga memastikan bahwa
FPI tidak dalam tujuan mendorong Indonesia berpaham khilafah.
Mereka bahkan memasang bendera merah putih dalam seragam untuk
memastikan tidak anti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Tujuan kami adalah menjadikan Indonesia, di mana Islam adalah agama
mayoritas rakyat, menjadi religius dan bersih dari amoralitas,” kata
Abdurrahman.
“Kami menginginkan negara Islami, bukan negara Islam, karena negara yang
religius akan mencegah negara dari menderita ketidakadilan sosial,”
sambungnya.
Kehadiran FPI dalam tanggap bencana mulai dilakukan pada saat terjadi
tsunami Aceh tahun 2004. Tsunami ini menewaskan lebih dari 100 ribu
orang di Serambi Mekah.
Teranyar, FPI turut berperan dalam mengevakuasi korban gempa dan tsunami
Palu yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa. Mereka membantu pencarian
korban, mendistribusikan bantuan ke daerah pelosok, dan membangun
perumahan sementara dan masjid baru.
Bahkan ke daerah terpencil yang sulit terjangkau, seperti di kampung nelayan Anwar.
Komentar salah satu pembaca di Media Sosial:
Saya sdh membaca artikel yg dimuat The Washington Post. Dimuat tgl 11
Junin2019, berarti masih hangat. Itu boleh dianggap sbg “hadiah lebaran”
buat FPI, ormas keagamaan yang selama ini dimarjinalkan oleh media
utama lokal.
Artinya, buat FPI, tulisan itu merupakan pengakuan media internasional berkelas atas upaya kemanusiaan mereka di daerah bencana.
WP adalah salah satu media profesional yang berpengaruh dan kredibel di AS.
Media itu mau memberi halaman panjang utk artikel yang memuji “gerak
baru” FPI dalam kegiatan kemanusiaan, hemat saya, adalah pengakuan dan
penghargaan besar buat FPI.
Semoga tulisan bagus yg belum pernah saya baca ditulis oleh media lokal
kita, menjadi stimulan/pendorong kuat bagi FPI untuk terus bekarya dan
berkiprah lebih aktif lagi dalam kegiatan untuk kemanusiaan ( bencana
alam, gempa besar, tsunami dll) yg sering terjadi di tanah air kita.
Bravo, FPI.👍👍👍
0 Komentar